Rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu.
Padahal jauh
sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok
Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan
memelihara rambut gimbal.
Demikian juga Dewa
Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu
banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan
rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa
adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas
tradisional. Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan,
sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi
bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun
Timur.
Kaum Nazarit di Barat, dan para
penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki
rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan
fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh.
Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan
daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan
tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia
keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci
belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring
dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit
diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey
memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam
lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum
tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini.
Mereka
menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka
memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para
Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para
Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini
pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial
Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi
ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak
sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi
sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri
yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar.
Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk
memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai
pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut
pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk
penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta
ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota
Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik reggae lahir pada tahun
1968.
Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlock yang permanen.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
http://asal2usul.blogspot.com/2012/08/asal-usul-rambut-gimbal-ala-reggae.html
0 komentar:
Posting Komentar